Apa yang teman-teman pikirkan jika mendengar kata Glodok? Glodok adalah sebuah kelurahan yang merupakan bagian dari kecamatan Taman sari di Jakarta Barat. Glodok juga dikenal sebagai daerah Pecinan dan waktu saya kecil daerah ini juga terkenal sebagai salah satu pusat perdagangan barang elektronik.
Sebenarnya perjalanan ini dimulai dari keinginan Saya dan Ka Chichie untuk JJS (Jalan-Jalan Santai) sambil eksplore Jakarta. Dan kami ingin JJS nya sekaligus mengenal sejarah dan cerita yang menempel pada tempat tersebut di jaman dulu dan sekarang. Jadilah kami memutuskan untuk ikutan JJS bareng dengan Jakarta Good Guide (JGG).
Jakarta Good Guide adalah sebuah adalah sebuah komunitas walking tour yang mengajak untuk eksplore Jakarta dan kota-kota besar di sekitar Jakarta dengan berjalan kaki. Tempat yang dikunjungi terutama di tempat yang memiliki nilai sejarah atau punya cerita yang menarik. Biasanya tidak ada biaya yang pasti alias bayar seikhlasnya ketika bergabung dalam trip mereka. Kegiatan eksplore ini dilakukan dengan berjalan kaki dengan ditemani seorang guide. Kamu wajib cobain deh.
Awal Mula Perjalanan Menikmati Atmosfer Imlek di Glodok
Karena ini masuk dalam musim perayaan Imlek di Glodok, jadi peserta trip bareng JGG waktu itu lumayan banyak. Dan kebetulan untuk ikut trip kali ini ada biaya yang harus dibayar, hanya saja saya lupa bayar berapa. Kisaran 150 ribuan per orang kalau tidak salah. Dan arahan pertama adalah bertemu di Gedung Candra Naya.
Gedung Candra Naya adalah sebuah bangunan lama peninggalan jaman Belanda yang memiliki arsitektur oriental. Gedung ini merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh negara. Itulah sebabnya keberadaannya yang dihimpit gedung-gedung tinggi membuat gedung ini menjadi tambah unik lagi.
Candra Naya merupakan rumah seorang Mayor China di Batavia kala itu. Beliau adalah Mayor Khouw Kim An yang memiliki karir cemerlang di pemerintahan Batavia. Saat ini luas bangunan gedung Candra Naya hanya tersisa sepertiga dari luasnya di jaman dahulu. Bahkan dulu sempat tidak terawat.
Bisa masuk dan tahu bahwa ada bangunan yang unik dan memiliki nilai sejarah membuat saya sangat takjub. Sambil mendengar paparan dari guide kami, sambil pikiran saya membayangkan situasi dan kondisi di jaman itu.
Puas berkeliling dan membaca setiap poster yang ada di setiap sudut gedung ini, kami pun melanjutkan perjalanan menuju tempat berikutnya. Kami masuk ke perkampungan warga yang padat penduduknya. Ciri khas dari masing-masing rumah yang saya lewati menggambarkan sekali kalau pemiliknya adalah keturunan Cina. Khas banget pokoknya.
Klenteng Tertua di Glodok, Jakarta
Perjalanan menelusuri perkampungan melangkahkan kaki kami menuju ke komplek Vihara Dharma Bakti. Ini adalah vihara atau klenteng tertua di Jakarta. Vihara identik dengan warna merah, entah kenapa saya merasa warna merah di Vihara ini memberi kesan yang elegan.
Ada 27 patung dewa yang menghuni vihara ini. Salah satunya yang sering kita kenal bahkan di film-film Cina kolosal adalah Dewi Kwan Im. Ketika ada peristiwa pembakaran geger Pecinan di tahun 1970, Patung Dewi Kwan Im pun berhasil diselamatkan.
Siang itu, terlihat abu-abu sisa pembakaran dupa mulai menumpuk. Kebayangkan sudah berapa ratus orang yang datang kesini untuk beribadah. Terutama ini adalah Imlek, yang mana momen baik untuk berdoa sebelum memulai tahun yang baru.
Ada juga lilin-lilin berukuran dari yang kecil sampai besar berwarna merah yang sumbunya selalu menyala api. Lilin itu adalah lilin sembahyang yang menjadi simbol pengabdian kepada sang Buddha. Dan sebagai penerang dalam dirinya, seperti Buddha yang menjadi penerang. Kira-Kira begitu yang saya dengarkan dari penjelasan Guide kala itu.
Saya memandang lama bangunan klenteng yang berwarna merah dan hitam. Membayangkan keberadaannya di awal-awal bangunan ini berdiri pasti terkesan megah. Sebelum ada kebakaran karena human error, dari lilin yang menyala. Kini hanya bagian tengah vihara ini saja yang utuh.
Vihara Dharma Jaya Toasebio
Guide kami siang itu mengajak kami untuk bergerak kembali. Berpindah ke Vihara yang tidak jauh keberadaannya yaitu Vihara Dharma Jaya. Berlokasi di Jalan Kemenangan III, sebuah lokasi yang paling sibuk di area ini.
Seperti halnya di Vihara sebelumnya, Vihara Dharma Jaya ini ramai oleh mereka yang hendak sembahyang. Vihara Dharma Jaya Toasebio ini juga salah satu klenteng yang tertua. Klenteng ini pernah dibakar oleh Belanda pada abad ke-17 dan kemudian dibangun kembali di tahun 1751 seperti yang tertulis di pagoda.
Arti kata Toasebio merupakan kombinasi dari dua kata yaitu “Toase” yang berarti pesan dan “Bio” yang berarti kuil. Jadi artinya kuil ini merupakan kuil ini menghormati pesan perdamaian yang dibawa dari Tiongkok pada masa itu.
Gereja Katolik Bergaya Tionghoa
Sudah menelusuri bagian di Vihara Dharma Jaya Toasebio kemudian kami pun diarahkan masuk lebih dalam ke perkampungan warga dan berpindah ke jalan utama berikutnya. Kali ini kami memasuki sebuah bangunan dengan arsitektur Tionghoa namun ini bukanlah vihara. Bangunan itu adalah Gereja Katolik Santa Maria de Fatima.
Memiliki arsitektur yang khas Tionghoa jika dilihat sekilas pasti kita yang awam akan menganggapnya sebagai Vihara. Ornamen bangunan ini didominasi dengan warna merah, kuning dan emas.
Awalnya bangunan adalah sebuah rumah milik salah satu Kapitan Tionghoa bermarga Tan. Tapi kemudian di tahun 1950-an diambil alih oleh misionaris asal Italia bernama Matteo Ricci. Matteo Ricci adalah seorang utusan Vatikan yang bertugas membantu orang-orang Tionghoa yang mengalami diskriminasi di Batavia.
Rumah Tuan Tan tersebut kemudian dibeli oleh Mateo dan kemudian dijadikan asrama. Berjalannya waktu asrama itu kemudian berubah menjadi sebuah Gereja hingga sekarang yang diberi nama Gereja Katolik Santa maria de Fatima. Di Sebelah gereja ini juga berdiri sebuah sekolah yang diberi nama Sekolah Ricci, sebuah sekolah Katolik.
Saat itu sayangnya tidak bisa melihat keadaan di dalam gereja. Jadi kami hanya bisa melihat di bagian luar. Meskipun bergaya Tionghoa tapi aura Katoliknya cukup kental. Meskipun di beberapa patung-patung digambarkan seperti layaknya patung-patung orang Tionghoa.
Kuliner
Setelah perjalanan hampir 2 jam lebih di siang hari, kami akhirnya akan menuju ke menutup perjalanan ini dengan mengikuti kelas membuat teh Petak Enam. Untuk menuju ke sana kami pun melewati pasar Petak Sembilan yang legendaris mulai dari akseosir, kebutuhan dapur dan bahkan sebagai pusat kuliner di daerah Glodok.
Dalam perjalanan ke Petak Enam kami pun menelusuri jalan-jalan kecil. Melewati deretan toko aksesoris imitasi, banyak kuliner khas Tionghoa yang rata-rata non halal, dan kagetnya ada coffee shop kekinian yang beroperasi didalam pasar. Pastry dan kopinya enak loh, penampilannya pun tidak kalah menarik.
Sepanjang perjalanan kami suasana Glodok Pecinan ini sangat meriah sekali. Atmosphere Imlek nya sangat bisa dirasakan. Rasanya seperti bukan di Jakarta loh. Dari kelas membuat teh ini, saya jadi paham bahwa waktu minum teh bagi orang Cina dan Jepang memang segitu sakralnya ya.
Karena tempatnya agak kecil dan waktunya terbatas sehingga saya kurang fokus ketika mengikuti kelas teh ini. Rasanya ingin diulang deh, kapan-kapan saya mau ikut lagi kelas membuat teh ini. Karena prosesnya ternyata ada beberapa tahap, dan seru banget.
Rekomen banget deh kalo saat Imlek, teman-teman JJS di sekitar Grogol. Karena kita bisa sekalian belajar budaya dan sejarahnya. Harus dicoba pokoknya.
