Ini cerita saya tengah malam masih ada di hutan Gunung Putri? Ini adalah cerita lanjutan dari 3 postingan sebelumnya. Jadi kalau teman-teman sampai di halaman ini lebih dahulu, ada baiknya teman-teman mundur sejenak ke 3 postingan sebelumnya. Cerita dimana perjalanan pendakian ini dimulai, supaya bisa lebih lengkap bacanya.
Di postingan sebelumnya saya sampai pada cerita dimana kami memutuskan untuk ishoma di Alun-Alun Surya Kencana Barat. Ketika itu jam saya menunjukkan pukul 6 sore. Sudah masuk waktu magrib. Kami pun menagih mie instan yang katanya akan dimasak oleh guide kami untuk makan malam. Sambil sejenak beristirahat kami menunggu guide kami memasak mie instan di pojokan itu.
Suasana Magrib di Alun-Alun Surya Kencana
Langit yang semula berwarna lembayung, perlahan menjadi semakin gelap. Sambil menunggu mie instan dimasak kami pun persiapan untuk solat maghrib. Mencari pojokan dulu untuk kami menunaikan hajat kami alias BAK. Kami ber-3 untungnya sesama cewe jadi ada yang bantu memegang kain penutup, pegang senter ke arah depan. Dan tidak lupa sebelumnya kami gali lubang berbarengan.
Menurut saya, udara malam itu masih dibilang sejuk, mungkin mirip dengan udara musim gugur di Korea, ahseek, pengen banget ke Korea hehehe. Tidak ada rasa akan kedinginan. Kami pun mengambil wudhu dengan menggunakan air yang sebelumnya kami air di pusat mata air di Alun-Alun Surya Kencana Barat sebelum kembali ke Timur ketika Ishoma pertama. Kami pun wudhu secara bergantian, ketika tiba giliran saya, badan saya tiba-tiba langsung menggigil begitu air membasahi wajah. Dan akhirnya solat pun dalam kondisi menggigil cukup parah.
Kesalahan saya malam itu adalah tidak membawa jaket puff yang tebal atau minimal sweater tambahan. Saya hanya bawa jaket parasut (windbreaker) saja. Karena pengalaman waktu ke Gunung Salak kemarin rasanya saya tidak mengalami yang namanya dingin sama sekali. Ternyata kondisi udara di Gunung Gede lebih dingin dibanding Gunung Salak. Ini akibat saya tidak mendengar masukan dari Mba Fithri dan lebih nurut Pak Su yang belum ada pengalaman naik ke Gunung.
Bersyukur, Alhamdulillah Mba Tini membawa jaket cadangan. Saya diberi pinjam jaket yang siang dia pakai, lapis lagi dengan jaket parasut saya. Perlahan sambil menyantap mie instan dan tekwan yang kami bawa lambat laun suhu badan saya mulai naik lagi menjadi normal. Headlamp sudah standby di kepala kami untuk memberikan penerangan yang akan menyantap mie instan kami. Sekitar jam 6:45 kami siap-siap untuk turun lagi. Masih banyak pendaki rombongan yang baru sampai. Dalam hati saya berdoa, semoga bisa punya teman dari rombongan lain yang turun ke basecamp gunung putri.
Menembus Gelapnya Hutan Gunung Putri
Kalau sudah hiking seperti ini saya merasa dzikir saya jadi lebih banyak dari biasanya. Begitupun hari itu, apalagi ketika akan kembali ke basecamp Gunung Putri. Ini adalah pengalaman kedua saya berada di tengah hutan di malam hari. Sebelumnya saya juga pernah sampai malam di hutan Gunung Salak, jam 8 baru sampai basecamp Cimelati.
Meskipun bukan pengalaman pertama, tapi saya tetap harus waspada dan memegang teguh ketenangan serta positif thinking. Kami berharap bisa sampai ke basecamp sebelum tengah malam. Saya juga kepikiran Pak Su, takut beliau murka kami belum turun hingga malam, hehehe. Tapi saya harus fokus ke perjalanan ini saja, supaya bisa cepat dan lancar.
Tapi ekspektasi tidak sesuai dengan realita ya. Ternyata sepatu Mba Tini dan Mba Ria bukan sepatu yang khusus kegiatan outdoor atau lebih tepatnya hiking. Kebetulan karena jarang hujan jadilah rute nya lebih didominasi dengan batu kerikil dan sedikit berpasir. Jadi kalau pakai sepatu yang sol nya rata otomatis akan terasa lebih licin. Dilain sisi saya paham bahwa kami semua sudah cape jadi keseimbangan bisa jadi ga stabil seperti ketika kami naik. Faktor usia juga berpengaruh sih, di beberapa orang jalan menurun adalah tantangan tersendiri karena akan menyebabkan nyeri lutut.
Tiga orang perempuan dengan satu guide. Otomatis Akang Guide akan lebih membantu bagi peserta yang lebih butuh bantuan. Sementara saya yang Alhamdulillah cukup stabil pijakannya membantu peserta yang lainnya. Sekitar jam 8 kami masih sesekali bertemu dengan pendaki yang baru akan naik ke atas. Dalam hati saya salut dengan mereka sih, baru naik malam-malam gini. Eh, tapi apa bedanya dengan kami yang baru turun malam-malam juga ya. Kita fokus pada tujuan tidak menginap alias tektok. Pokoknya pulang sebelum matahari terbenam.
Di beberapa titik yang kontur tanahnya cukup tinggi, beberapa kali akang guide harus menahan kaki teman saya supaya tidak merosot. Kadang juga harus ngglosor supaya bisa turun. Kami berkomitmen untuk bisa sampai bawah tanpa cedera. Meski kadang jatuh terduduk tidak bisa kami hindari.
Saya berharap bisa istirahat di pos yang mungkin saja masih buka. Tapi ternyata itu cuma harapan, nyatanya tidak ada warung yang buka malam itu, semua warung sudah tutup semua. Tapi kalau memang sudah lelah banget, kami minta waktu duduk ke Akang guide di pos yang kami yakin akan duduk disitu. Kalau sudah duduk kami sempatkan minum sedikit dan oles-oles counterpain.
Tengah Malam di dalam Hutan
Waktu berjalan, harapan kami untuk bisa sampai basecamp sebelum tengah malam pun mulai terkikis. Karena jam 11 saja kami masih ada di tengah hutan. Takut ga? Jujur takut, tapi tekad untuk bisa kembali dengan selamat lebih besar. Saya selalu mengingatkan teman-teman untuk tidak berhenti berdzikir. Dan fokus saja pada jalur yang akan kami lewati. Tidak perlu melihat-lihat ke atas atau terlalu jauh ke depan. Meski ada saja saya merasa samar-samar melihat seperti bayangan orang, tapi ternyata begitu dekat hanya sebuah pohon.
Saya meyakini, kalau sudah berhalusinasi tandanya saya sudah lelah. Sehingga bisa saja lelah ini membuat pikiran jadi kemana-mana. Biasanya saya minta waktu duduk sebentar untuk minum air putih, dan ngemil perbekalan kami (coklat atau permen) yang masih tersisa. Dan sesekali kami ngobrol dan saling menyemangati dan percaya bahwa Allah Azza Wa Jalla akan melindungi.
Jam 12 lewat kami mendengar sayup-sayup orang bicara dari kejauhan. Untungnya semua dari kami mendengar itu. Tandanya beneran orang, hahaha. Maksudnya bukan bagian dari halusinasi. Dan benar saja, 5 orang laki-laki usia 20 an baru akan naik ke atas. Takjub saya sama mereka. Padahal kan lebih banyak dapat takutnya ya dibanding dengan menikmati alamnya. Itu menurut saya sih.
Fakta menarik malam ini, Alhamdulillah hutan malam itu sunyi sekali. Tidak ada suara daun tertiup angin. Suara serangga, atau suara aneh lainnya. Hanya ada satu hewan mirip kupu-kupu kecil berwarna putih yang mengikuti saya hingga ke pos 3. Dan itu pun tidak menganggu menurut saya.
Jam 1 dini hari kami pun sampai di pos 1, dan ada beberapa abang ojek pangkalan yang stand by disana. Akhirnya kami pun memutuskan untuk nyambung dengan ojek menuju ke basecamp kami yang jika jalan kaki masih membutuhkan 15-20 menit lagi. Dari kejauhan saya sudah melihat suami saya standby di depan basecamp.
Katanya Pak Su sudah siap mau menyusul ke atas karena khawatir belum sampai juga hingga tengah malam. Pak Su kira kami akan menginap di salah satu warung hingga menunggu subuh. Jadi kepikir mau di samper ke atas. Tapi kemudian di cegah oleh bapak yang standby di basecamp, menurut beliau tunggu aja pasti turun sebentar lagi. Dan benar kami pun tiba.
Perjalanan turun yang tidak mudah. Kalau kami prepare dengan tenda rasanya saya mau nge-camp di alun-alun memang. Tapi karena komitmen nya tektok jadi kami komit untuk turun. Perjalanan turun melintasi hutan Gunung Putri ini memberi keharuan tersendiri buat saya dan teman-teman. Next ke Gunung Gede rasanya perlu mempertimbangkan untuk nge-camp. Masih pengen menikmati milkyway di alun-alun surya kencana.
Alhamdulillah malam itu kami tiba di rumah masing-masing dengan sehat dan selamat. Tidak kurang satu apapun dan tidak meninggalkan trauma. Terima kasih sama akang guide kami yang sabar banget nemenin 3 ibu-ibu yang ini yang ambi pengen sampe puncak Gede. Mudah-mudahan pendakian berikutnya bisa kesampaian ngecamp ya.